Berangkat dari Jember, 11 Juli 2017, gue dan istri beruntung banget. Karena perjalanan kali ini ga perlu repot nyari tiket Kereta Api alias KA sendiri. Secara, lagi bertepatan banget sama hari liburnya anak sekolahan. Full booked udah pasti. Nah, untung ada bantuan cariin tiket KA online yang pas, yaitu dari Ashanty Tour & Travel, Surabaya. Kami naik Ranggajati yang rutenya langsung, Jember-Purwokerto :)
Alhamdulillah akhirnya sampe di stasiun Purwokerto yang biasanya kalo ke Jakarta atau ke Jember hanya dilewati saja. Namun tidak kali ini.
Pertama kalinya gue dan istri dapat hadir karena sebagai peserta dalam acara "Juguran Blogger" yang diadakan teman-teman Blogger Banyumas. Sebut saja Mas Pradna, seorang blogger yang menggagas acara tersebut. Kami dijemput bersama teman-teman blogger lainnya. dan diantarkan ke hotel yang lumayan dekat dan melewati tempat wisata Baturaden yang terkenal itu.
Kalo gue inget Baturaden, jadi inget sama mainan jaman kecil dulu yaitu monopoli, hehe....
Sesampainya disana ternyata sebagian teman-teman blogger dari berbagai daerah (Lampung, Sukabumi, Cimahi, Karawang, dan lainnya) sedang santai-santai sekaligus menyambut kedatangan kami yang masih tersisa.
Sebelum istirahat, kami pun berkumpul di salah satu kamar untuk kenal-kenalan sekaligus membahas rundown acara yang akan dilakukan besok. Sebelum istirahat, ada baiknya foto-foto dulu lah ya. Itung-itung dalam rangka menyambut kedatangan.
Inovator Banyumas: Pompa Air Hydram Sudiyanto.
Alhamdulillah pagi harinya kami berangkat menggunakan bus wisata. Kunjungan pertama yaitu menujui Inovator Banyumas. Inovasinya adalah pompa air Hydram Sudiyanto yang berlokasi di Desa Kotayasa.
Sebenarnya untuk menuju lokasi ga jauh dari hotel tempat kami menginap tapi karena ada kendaraan truk yang mogok, terpaksa bis kami ganti rute.
Saat tiba di lokasi, kami semua disambut Bapak dari Bappeda Litbang. Awalnya ga ada gapura ataupun tanda pengenal menuju lokasi, namun ketika kami berjalan kaki makin ke bawah melewati peatang sawah, sungguh suara dentumannya membuat kami penuh keheranan
"Kok bisa ya air naik ke atas permukaan yang lebih tinggi?", ucap beberapa teman-teman.
Ya bisalah. Kan airnya didorong dari tekanan udara bersama air. Gue cuma menjawab dalam hati, karena dulu gue pernah lihat di youtube. Bedanya hanya ukuran dan desain yang kecil dan sederhana.
Kali ini desainnya dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengangkut lebih kuat, banyak, dan mampu memenuhi kebutuhan lebih banyak warga. Jujur, kalo boleh cerita, pada awalnya ternyata sebelum adanya pompa hydrsam ini, warga setiap pagi dan sore harus mengambil air yang lokasinya persis berada di lembah. Syukurlah, kini warga ga perlu khawatir masalah air.. Air dari pipa Hysu hasil inovasi Pak Sudiyanto ini kini menjadikan air berkah untuk dinikmati semuanya.
Yaitu ke rumah produksi nopia dan mino milik Pak Narwan. Nopia merupakan makanan yang terbuat dari adonan tepung terigu yang diisi dengan gula merah, lalu dipanggang dengan tungku khusus. Tungkunya spesial, terbuat dari tanah liat dan juga memakai kayu bakar. Bukan sembarang kayu bakar, ternyata berasal dari pelepah kelapa loh.
Kalo nopia ukurannya lebih jumbo, mirip bakpao cuma bentuknya lonjong. Tekstur kulitnya agak keras dan berubah jadi kenyal saat kalian mengunyah bangian dalamnya. Varian rasanya mulai dari durian, coklat, brambang (bawang merah) yang rasanya mirip abon. Selain nopia, ada juga mino alias mini nopia yang berukuran imut-imut.
O ya, sebagian orang ada yang bilang nopian ini sebagai pia telur gajah, ndog gludhug (telur halilintar). Hehe, ada-ada aja ya. Kulit nopia seperti kulit pia, cuma kulit nopia lebih padat, kalo pia berlapis. Nopia rasa orisinilnya adalah rasa brambang goreng.
Asik melihat cara produksi nopia dan mino ini, jadi lebih tahu dan menghargai kerja keras mereka, Pak Narwan dibantu anak-anaknya, juga para pekerjanya. Khusus di dapurnya, pas ada tungku-tungku raksasa yang bisa memproduksi ribuan nopia dan mino dalam sehari, asli puanas banget.
Batik Pringmas di Desa Papringmas
Katanya, banyak perempuan muda memilih merantau ketimbang menjadi pembatik. Setelah lelah merantau dan mulai dimakan usia, barulah mereka kembali memilih jalur membatik. Itu yang gue baca di banyak referensi. Katanya, batik tak memberi banyak harapan.
Meski akhirnya rasa ngantuk siang itu mulai menyergap, lelah juga mulai terasa, tapi tiba-tiba lenyap waktu gue dan teman-teman sampai di Bukit Datar, Bukit Tranggulasih. Apalagi tadi juga sempat goyang-goyang bareng yang lain di atas open kap alias mobil pick up terbuka. Sedangkan istri, di mobil tersendiri.
Sempet sih berpikir, jangan-jangan setelah jalan agak nanjak di hari yang udah mulai gelap, ga ada apa-apa lagi, selain hutan. Dan, ternyata, tenda sudah berdiri dengan rapinya, lengkap dengan matras, sleeping bag, dan juga warung yang pas ada di sebelah tenda kami, hehe..
Ternyata ini macam family camp atau kemping ceria gitu lah kira-kira. Kalo lapar melanda, cus langsung ke warung sebelah :) Kami makan malam dengan sayur yang rasanya memang khas Banyumas, dipotong kecil-kecil, kering, ga terlalu banyak kuahnya, dan pastinya ada tempe mendoan. Gue penasaran banget sama si tempe mendoan ini. Karena dimana-mana nyaris seslalu disuguhkan. Pas iseng nanya sama mbak penjual di warung, katanya memang tempe mendoan ini beda dengan gorengan yang lain, karena minyaknya hanya sekali pakai. Wih, makanya rasanya dan penampakannya sama maknyusnya :)
Anyway, kisah di Tranggulasih bersambung ya di tulisan kedua...
Tulisan ini merupakan tulisan pertama dari dua tulisan dalam rangkaian “Juguran Blogger Indonesia 2017” kerjasama antara Komunitas Blogger Banyumas dengan Bappeda Litbang Banyumas dan didukung oleh Bank Indonesia Perwakilan Purwokerto, pada 11-13 Juli 2017. Kegiatan ini juga disponsori oleh PANDI, @fourteen_adv, @lojadecafe, dan Hotel Santika Purwokerto.